Yang biasanya dilakukan anak perempuan saat sore hari adalah membatu ibu di dapur. Begitu juga dengan saya, sore ini saya dan ibu membuat sambel kacang atau yang sering disebut sambel pecel. Semua rentetan prosedur pembuatan sudah saya lakukan. Kali ini saya bertugas menghaluskan kacang dan bumbu, sedangkan ibu yang menggoreng kacang.
Saya menghaluskan kacang menggunakan lumpang dan alu. Sepasang alat dari batu. Kalau biasanya yang digunakan itu lemper dan ulegan kali ini berbeda. Karena sambel yang akan dibuat menggunakan energy yang cukup banyak untuk menghaluskan.
Karena di dapur menggunakan keramik, saya memilih di depan dapur. Menghindari segala resiko apabila di dapur yang beralaskan keramik. Yang pertama saya haluskan adalah kacang, saya kira kacang sudah halus. Ternyata saat diletakkan di atas baskom masih ada beberapa yang belum halus, bisa dibilang utuhlah. Kemudian saya menghaluskan bumbu yang sudah digoreng ibu sebelumnya.
Setelah dua tugas tersebut selesai, saya mengambil benda berwarna putih yang disebut rengkot untuk wadah. Sedangkan ibu saya melakukan finishing sambel kacang tersebut. Saat hampir selesai, sambel yang masih ada di alu ibu tinggalkan sejenak.
Saya tak menghiraukan ada siapa di sana. Saat ibu kembali ke alu tersebut
“Hahh” teriak ibu saya.
Sontak saya lari dan menuju alu sambel tersebut. Ternyata oh ternyata, adik saya yang menunggu sambel tersebut memberikan kerikil, tanah, merang dan segala hal yang ada di sekitarnya dimasukkan ke dalam alu tersebut. Wajar kalau saya cukup marah saat itu, tetapi dicampur tertawa saya memarahi adik. Ia terlihat hampir menangis. Hal itu tidak hanya terjadi pada adik saya, peristiwa serupa juga menimpa diri saya sendiri. Dulu saat saya kecil juga demikian. Sama-sama terjadi saya bulan puasa. Bedanya kalau adik memberikan kerikil pada sambal kacang, sedangkan kalau saya memberikan air hujan pada nasi untuk berbuka puasa dan waktu itu pas berbuka puasa. Ternyata saya tak jauh berbeda dengan adik.